Bagi umat Islam, Hari Raya Idul Fitri
memiliki makna yang sangat mendalam. Kehadirannya senantiasa disambut
dengan penuh antusias. Idul Fitri dianggap sebagai hari kemenangan
melawan segala hawa nafsu. Pada hari itu, umat Islam kembali kepada
fitrah. Ibarat terlahir kembali ke dunia dalam keadaan suci. Bagaimana
sebaiknya umat Islam memaknai Hari Raya Idul Fitri? Apa makna fitrah
yang sesungguhnya? Berikut wawancara Fauziah Mursid dari BERITA UIN Online dengan Dekan Fakultas
Dirasat Islamiyah (FDI) Prof Dr Abuddin Nata MA seusai memberikan
ceramah pada buka puasa bersama pimpinan dan karyawan UIN Jakarta di
Aula Student Center, Kamis (18/8).
Bagaimana pandangan Anda mengenai Hari Raya Idul Fitri?
Hari Raya Idul Fitri memiliki makna
kembali kepada fitrah. Kembali yang dimaksud adalah kembali pada
kehidupan yang lurus. Menurut Prof Dr Muhammad Quraish Shihab makna
fitrah ada tiga, yakni fitrah kepada kebenaran yang menghasilkan ilmu,
fitrah kepada kebaikan yang menghasilkan etika, dan fitrah kepada
keindahan yang menghasilkan seni. Perpaduan antara ilmu, etika, dan seni
itulah yang membuat hidup kita menjadi utuh, damai, dan tertib.
Hari Raya Idul Fitri erat kaitannya dengan Ramadan, nah bagaimana makna fitrah jika dikaitkan dengan Ramadan?
Proses menuju fitrah ini tentu saja
tidak terlepas dari kehadiran bulan Ramadan yaitu melalui puasa. Karena
dengan berpuasa dapat mengembalikan kehidupan yang sebenarnya.
Maksudnya?
Fitrah itu ditempuh melalui berbagai macam cara dan puasa ini salah satunya. Pertama,
puasa dapat mengajarkan kepada kita pola konsumsi yang benar. Dengan
berpuasa kita dituntut untuk menahan hawa nafsu dan makan tidak
berlebihan. Dengan pola yang teratur seperti ini tentu kita akan
terhindar dari berbagai macam penyakit. Dan ini disebut fitrah secara
fisik.
Kedua, melalui puasa kita dapat
mengembalikan hubungan komunikasi sosial. Dalam kehidupan yang
materialistik dan pragmatis seperti sekarang ini manusia sering memakai
istilah waktu adalah uang. Hampir setiap waktu mereka sibuk pada
pekerjaan mereka masing-masing dan kurang untuk berinteraksi sosial.
Oleh karena itu, kehadiran bulan Ramadan dapat mengembalikan komunikasi
di antara sesama manusia melalui salat Tarawih, salat berjamaah, buka
bersama dan makan sahur.
Ketiga, fitrah kembali kepada
Tuhan. Melalui bulan Ramadan kita senantiasa meningkatkan ibadah dan
amalan kepada Allah SWT. Hal itu dapat membangun komunikasi kepada Tuhan
sebagai tempat berlindung, tempat mengadu, tempat meminta. Dan kita
bukan apa-apa di hadapan-Nya. Melalui hubungan ini kita punya kekuatan
untuk tidak diperbudak dan dijajah oleh apapun dan hanya tunduk kepada
Allah SWT.
Sudah menjadi tradisi, Hari Raya Idul Fitri identik dengan sesuatu yang baru, seperti pakaian baru. Bagaimana Anda memaknainya?
Pada hakikatnya Hari Raya Idul Fitri
bukan hanya sekadar mengenakan sesuatu yang baru, pakaian misalnya.
Karena Nabi SAW bersabda bahwa Idul Fitri bukan dengan pakaian yang
serba baru, tetapi bagaimana ketakwaan dan keimanan kita bertambah. Saya
memaknai pakaian baru tersebut hanya sebagai simbol suatu inovasi untuk
kembali kepada semangat kemajuan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.
Bagaimana dengan tradisi Halal Bihalal pada Hari Raya Idul Fitri, apakah memang harus diselenggarakan?
Memang halal bihalal pasti ada dalam Hari Raya Idul Fitri. Sebenarnya halal bihalal itu dipahami dari ayat al-Qur’an bahwa ciri orang yang bertakwa itu adalah yang saling memaafkan wa ‘aafinaa ‘aninnas
(saling memaafkan). Karena dalam Islam baik kepada Allah SWT saja
tidaklah cukup jika tidak diikuti dengan baik kepada manusia. Boleh jadi
selama 11 bulan hubungan di antara sesama terdapat keretakan atau
sedikit renggang. Di dalam bulan yang penuh berkah tersebut hati kita
dilatih untuk ikhlas memaafkan, maka ketika tiba Hari Raya ini dapat
dijadikan waktu yang tepat untuk saling memaafkan.
Apa yang harus kita lakukan untuk menjaga kefitrahan Hari Raya Idul Fitri?
Tentu saja kelanjutan fitrah yang
didapat setelah bulan Ramadan dan Hari Idul Fitri harus selalu dijaga.
Karena itu ada yang disebut dengan pasca-Idul Fitri. Karena ada orang
yang menganggap bulan puasa itu biasa saja seperti hari biasa. Ada yang
mengatakan bulan puasa itu luar biasa, artinya mereka hanya aji mumpung
pada bulan Ramadan dan setelah Ramadan usai maka kembali lagi kepada
perbuatan sebelumnya. Tetapi ada pula yang memaknainya sebagai bulan
perbaikan. Mereka berusaha memperbaiki amal perbuatan mereka yang tidak
sesuai dengan agama. Dan bagi mereka yang menganggap sebagai bulan
perbaikan tentu harus dilanjutkan pengaruhnya pada bulan lain. Misalnya
saat Ramadan mereka rajin salat malam, salat sunnah, dan tadarus
al-Qur’an, amaliah tersebut juga harus dilakukan di luar bulan Ramadan.
[]
|
0 komentar:
Posting Komentar